Saturday, February 17, 2007

Tiga Gadis Poso Tewas Dibantai Pembunuh Berdarah Dingin

FOTO berbingkai Theressia Morangke (15), Yarni Sambue (15), dan Alfita Poliwo (19), masih bertengger di makam. Wajah tiga gadis bersaudara sepupu itu memancarkan senyum manis, senyuman anak gadis Dusun Buyumboyo, Poso, Sulawesi Tengah (Sulteng). Lugu. Tak terpancar rasa curiga, apalagi dendam. Di gundukan makam, puluhan karangan bunga ucapan duka cita dari kerabat juga masih teronggok seperti saat hari penguburan. Karangan bunga berwarna ungu putih atas nama Wakil Presiden RI, masih utuh ditaruh di kepala makam. Di dekatnya, ada karangan bunga mungil atas nama siswa-siswi SMU Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) Poso. Beberapa hari sebelum peristiwa pembunuhan, korban ternyata sudah diteror. Yosep Poliwo (58), ayah Alfita menuturkan, tiga hari sebelum pembunuhan, atau Rabu (26/11), anak perempuannya itu datang menemuinya di kebun. "Papa, saat kami tadi tengah dalam perjalanan ke sekolah, kami dicegat beberapa lelaki yang menanyakan kenapa kami tetap bersekolah. Para laki-laki itu mengatakan, saat ini kan lagi bulan puasa, jadi semestinya sekolah harus diliburkan untuk menghormati orang yang lagi berpuasa," Yosep menirukan ucapan Alfita. Mendengar pengaduan itu, Yosep langsung mengingatkan anaknya agar selalu berhati-hati kalau ke sekolah. "Pokoknya jangan berjalan sendirian, tetapi selalu ber-sama teman kalau ke sekolah," ia berpesan. Siapa sangka pesan itu pesan terakhir Yosep bagi anak bungsunya, salah satu korban pembantaian di Poso. Alfita, Theressia, dan Yarni dibunuh sekelompok pria berdarah dingin, Sabtu (29/10), di ruas jalan setapak kawasan perbukitan Dusun Buyumboyo, Kelurahan Bukit Bambu, Poso Kota. Ketiganya dibunuh dalam perjalanan ke sekolah di SMU Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) di Poso Kota. Tubuh ketiga korban ditemukan sekitar pukul 07.00 waktu setempat, tanpa kepala, di pinggir jurang. Tubuh-tubuh korban penuh luka bekas sayatan parang. Berkisar sejam kemudian, kepala ketiga korban ditemukan pada jarak 10 kilometer - 15 kilometer dari lokasi pembunuhan. Kepala Yarni ditemukan di depan rumah kosong di Kelurahan Kasiguncu, Kecamatan Poso Pesisir. Kepala Theressia dan Alfita, dibuang di semak-semak pinggir jalan raya antara Kelurahan Sintuwu Lembah, Kecamatan Poso Kota dan Desa Tagolu, Kecamatan Lage, Poso.
Menyesal

"Mereka itu sama-sama anak bungsu. Sama-sama lahir dan besar di Buyumboyo. Mereka saudara sepupu dua kali. Kami, ayah-ayah mereka, bersaudara sepupu," kata Yosep, tak mampu menahan kesedihannya. Ia merasa yakin anaknya dibunuh orang yang sebelumnya meneror mereka. Theressia, Yarni, dan Alfita, tidak hanya bersaudara sepupu. Dalam kehidupan sehari-hari, ketiga gadis Pamona, suka asli Poso itu, sangat akrab, walau berbeda kelas. Alfita sudah duduk di kelas III, sedangkan Theressia dan Yarni baru kelas I. Ketiganya sudah bersama-sama sejak bangku SD, di SD Negeri 13, Kelurahan Bukit Bambu, atau Buyumboyo yang dalam bahasa Poso (bahasa Pamona) artinya Bukit Bambu. Mereka sempat berpisah ketika pecah konflik Poso 2000-2003. Theressia dan Yarni beberapa kali mengikuti orangtua mengungsi ke Tentena, ibu kota Kecamatan Pamona Utara, sekitar 65 km dari Kota Poso. Di Tentena, Theressia bersekolah sampai tamat di SMP Negeri I Tentena, dan Yarni tamat di SMP GKST Tentena. Setamat SMP Tentena, orangtua Theresia dan Yarni, memutuskan mengirim anak-anak mereka melanjutkan sekolah ke SMU GKST Poso, berkumpul dengan Alfita. Alfita sejak 1999 bersekolah di Poso, di SMP GKST, hingga tamat 2002. Ketika pecah konflik Poso 2000-2003, sempat terkatung-katung sekolahnya karena beberapa kali harus mengungsi. Namun, Alfita yang dikenal cerdas dan periang itu, akhirnya bisa menyelesaikan pendidikannya dan meneruskan sekolah di SMU GKST Poso. Alfita, Theressia, Yarni, selalu berangkat bersama-sama ke sekolah. Sebagai anak petani, kecuali Theressia yang ayahnya pegawai Kelurahan Bukit Bambu, mereka terbiasa berjalan kaki melalui ruas jalan setapak, jalan pintas menuju SMU GKST di Poso Kota yang berjarak sekitar 2 kilometer dari Buyumboyo. Bisa dimaklumi, ada penyesalan pada diri Hernius Morangki (54), ayah Theressia, memindahkan putrinya dari Tentena. "Kalau saja dia tetap sekolah di Tentena, mungkin tidak kena musibah ini," ujar pegawai golongan II di kantor Kelurahan Bukit Bambu itu. Sebagai anak bungsu dari tujuh bersaudara, Theressia diharapkan bisa memperbaiki nasib keluarga. Saudara-saudaranya tak ada yang bersekolah tinggi. Sebagian sudah menikah, dan menjadi petani di Buyumboyo. "Itu sebabnya saya bawa Dertin bersekolah di Kota Poso, supaya lebih cepat maju dan berkembang. Tak tahunya nasibnya jadi begini," mata Hernius berkaca-kaca menyebut Dertin, panggilan kesayangan Theressia.

Firasat

Di sekolah, Theressia, Yarni, dan Alfita, dikenal memiliki budi pekerti sangat baik, suka menolong, dan ramah. "Mereka tidak segan- segan membantu rekan yang sedang kesulitan. Mereka rajin belajar," ujar Ricson (16), teman sekelas Theressia dan Yarni. Imelda (19), teman sekelas Alfita, mengenang sahabatnya sebagai gadis yang suka humor. "Dia hobi nyanyi dan pandai main gitar. Kami sangat kehilangan dia," tutur Imelda, yang diminta bantuannya oleh polisi untuk mencocokkan ketiga kepala dan tubuh korban sebelum dijahit untuk disatukan di RSU Poso. Lis Tadale BA, guru dan Wakil Kepala SMU GKST Poso, menganggap ketiga korban sebagai anak yang rajin. Ia menambahkan, SMU GKST Poso sempat ditutup sementara akibat kerusuhan Poso (tahun 2000-2004), dan dibuka kembali tahun ajaran 2005 karena diharuskan oleh Dinas Pendidikan dan Pengajaran (Dikjar) Poso. "Sepanjang tahun 2005 ini, aktivitas belajar-mengajar kami buka kembali. Itu pun kami lakukan karena ada jaminan keamanan bagi anak-anak didik kami selama bersekolah," katanya. Namun dengan peristiwa pembunuhan Theressia, Yarni, dan Alfita, Lis mengaku belum dapat memastikan kapan SMU GKST Poso akan dibuka kembali. Untuk sementara katanya, siswa-siswa GKST Poso dialihkan bersekolah di Tentena. Nice Lengkeka (50), ibu Fita, memiliki kenangan tersendiri sebelum berpisah selama-lamanya dengan anak bungsunya itu. Sabtu pagi, pukul 06.00 waktu setempat, seperti biasa Nice sudah berkemas-kemas hendak ke Pasar Sentral Poso untuk menjual sayur-sayuran hasil. "Sebelum berangkat ke pasar, saya bangunkan Fita untuk segera mandi. Begitu bangun, saya lihat hidungnya sangat mengkilat, seperti baru habis menangis. Saya pun menegurnya dan menanyakannya. Tapi Fita mengatakan tidak ada apa-apa, dan langsung berlalu menuju kamar mandi," ujarnya. Ia mendapat kabar putrinya jadi korban pembunuhan saat sedang di pasar, hendak membeli minyak tanah untuk dibawa pulang. "Seorang warga Buyumboyo menjemput saya pulang ke rumah dan menemukan Fita sudah jadi mayat," ujarnya. Saat ketiganya hendak berangkat ke sekolah Sabtu pagi itu, mereka sempat memetik bunga furing, masing-masing setangkai, dari halaman rumah Mama Glen di Buyum- boyo. "Torang (kita) bawa bunga furing Mama Glen dan bunga ini mau ditanam di kubur," kata ketiganya kepada seorang saksi, yang sempat berpapasan dengan ketiga korban di ruas jalan setapak sesaat sebelum pembunuhan itu terjadi. Saksi yang juga tengah dalam perjalanan menuju Poso Kota, mendengar teriakan minta tolong para korban, dan langsung balik lagi ke Buyumboyo melapor kejadian yang didengarnya ke pos keamanan setempat. Hanya Nofiana Malewa (15) yang tidak membawa bunga. Ia juga sepupu Theressia, Yarni, dan Alfita, yang bersama-sama jalan kaki ke sekolah. Gadis yang juga masih duduk di kelas I SMU GKST Tentena itu, berhasil lolos dari maut karena terjun ke jurang dan lari menyusuri sungai hingga diselamatkan penduduk kampung. Nofiana yang sampai saat ini masih dirawat di RSU Bhayangkara Polda Sulteng, terkena tebasan parang di pipi kirinya. Ia sama sekali belum mengetahui kalau ketiga sepupunya sudah meninggal. "Kami sengaja merahasiakannya, agar ia tidak lebih trauma dan terpukul," kata Nur Malewa, ayah korban.
Satu Liang Lahat
Begitu dekat hubungan Theressia, Yarni, dan Alfita, membuat Hernius, keluarga korban paling tua, meminta agar ketiganya dikubur satu liang di taman pekuburan kristen di Buyumboyo. Tapi permintaan itu tidak bisa dipenuhi Markus Sambue, ayah Yarni, karena ia menginginkan anaknya dikuburkan di tempat pengungsian mereka di Tentena. "Supaya kami bisa lebih dekat mengunjungi kuburnya," ujar Markus. Hernius, tidak memaksa. Namun ia mengubur Theresia dan Alfita di satu liang. "Mereka orang yang sangat saya kasihi. Hidup ini terasa hampa, tanpa harapan. Rasanya saya ingin mati bersama mereka. Saya ingin membangun rumah di makam anak saya, agar bisa selalu tinggal bersamanya," ujarnya. Air mata warga di Buyumboyo sudah kering. Iman mereka terus diuji, tetapi mereka nyaris tak mampu lagi bertahan. Di sela air mata yang sudah kering, harapan yang tertinggal hanyalah aparat keamanan bisa mengungkap siapa pelaku pembunuhan yang terus merenggut korban manusia tak berdosa di Poso.

(Suara Pembaruan, 8/11/2005)

No comments: